Hidup baru karena lahir baru

Yesus menjawab, kata-Nya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan kembali, ia tidak dapat melihat Kerajaan Allah.” Yohanes 3: 3

Pernahkah anda mendengarkan pembicaraan orang Kristen mengenai hal lahir baru atau dilahirkan kembali (born again)? Mungkin anda mempunyai seorang teman yang rajin ke gereja, tetapi menurut kata orang masih belum lahir baru, alias masih hidup dalam dosa. Memang ada orang yang memakai istilah “Kristen lahir baru” untuk mereka yang sudah terlihat menjalani hidup yang menurut firman Tuhan. Dalam hal ini, sebenarnya istilah “Kristen hidup baru” adalah lebih tepat.

Lalu, apakah lahir baru itu? Apakah dilahirkan kembali itu adalah keadaan di mana seseorang mau bekerja keras untuk mempertahankan keselamatannya? Apakah lahir baru adalah keadaan di mana orang Kristen sudah terlihat baik hidupnya? Apakah mereka yang sudah percaya dan menyerahkan hidupnya kepada Tuhan harus berusaha mati-matian untuk hidup baik agar lahir baru? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mungkin muncul, seperti pertanyaan Nikodemus kepada Yesus pada waktu itu (Yohanes 3: 1 – 8).

Pada waktu Yesus disalib, di sebelah kiri dan kananNya ada dua orang penjahat yang juga disalibkan. Seorang dari penjahat yang digantung itu menghujat Dia, katanya: “Bukankah Engkau adalah Kristus? Selamatkanlah diri-Mu dan kami!” Tetapi penjahat yang lain menegur dia, katanya: “Tidakkah engkau takut, juga tidak kepada Allah, sedang engkau menerima hukuman yang sama?” (Lukas 23: 39 – 40). Penjahat yang menyadari bahwa Yesus adalah Tuhan adalah orang yang beruntung karena ia percaya kepada Yesus. Ia pada saat itu juga telah dilahirkan kembali karena dengan imannya, dosanya sudah diampuni oleh Tuhan. Tetapi, ia tidak sempat untuk menjalani hidup baru.

Kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus.” Lukas 23: 43

Jika penjahat yang mengaku percaya kepada Yesus itu dapat menerima keselamatan, itu adalah bukan karena usahanya sendiri. Dalam kenyataannya, waktunya sudah habis untuk bisa membuktikan kepada dunia bahwa ia adalah orang yang sudah bertobat. Tetapi, apa yang dilihat manusia bukanlah apa yang dilihat Tuhan. Apapun yang baik menurut manusia tidak akan bisa menyelamatkannya dari hukuman Tuhan yang mahasuci. Hanya Tuhan yang bisa memutuskan apakah kita “cukup baik” atau “good enough” bagi Dia, dan itu hanya bisa terjadi hanya melalui penebusan darah Kristus. Jika kita mengakui dosa kita dan benar-benar percaya bahwa Yesus adalah satu-satunya jalan keselamatan, kita akan memperoleh jaminan keselamatan. Itulah lahir baru.

“Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan.” 1 Yohanes 1: 9

Banyak orang Kristen yang beranggapan bahwa kita harus bekerja keras untuk lahir baru atau untuk mempertahankan keselamatan kita. Pengertian seperti itu adalah keliru, karena keselamatan sudah diberikan Tuhan secara cuma-cuma kepada orang yang percaya, bukan kepada orang yang dipandang baik dalam mata manusia. Lahir baru semata-mata adalah karunia Tuhan.

“Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus.” Roma 3: 23 – 24

Lahir baru adalah karunia dari Allah dan terjadi seketika dan sekali (bukan suatu proses). Melalui kelahiran baru, Roh Allah menghidupkan roh manusia agar mampu mendengar suara Allah yang dikumandangkan melalui firman-Nya dalam Alkitab. Suara Gembala akan didengar oleh domba-domba-Nya, demikianlah firman-Nya akan didengar oleh kita, anak-anak Allah (Yohanes 10:27). Ketika kita mulai mendengar dan mampu merespons firman-Nya dengan benar, saat itulah kita akan mulai mengalami hidup yang diubahkan, yaitu hidup baru. Kelahiran baru tidak dapat diketahui secara persis kapan terjadinya.

Bagaimana dengan hidup baru? Apakah kita dapat tahu kapan dimulainya hidup baru? Tentu! Awal dari hidup baru adalah pertobatan. Pada saat Anda bertobat, saat itu adalah permulaan hidup baru. Firman Allah yang kita dengar akan menyadarkan kita siapakah Allah dan siapakah kita. Allah adalah Allah yang suci yang membenci dosa, sedangkan kita adalah orang-orang yang berdosa (Roma 3:23) dan sepatutnya dibuang dan dimusuhi oleh Allah (Kolose 1:21). Kesadaran inilah yang membawa kita kepada respons pertama dari hidup baru, yaitu pertobatan. Pertobatan menyadarkan bahwa tanpa anugerah Allah, kita binasa selama-lamanya, tanpa Kristus yang mati dan bangkit, kita tidak memiliki harapan untuk selamat dari hukuman kekal (Lukas 13:3). Pertobatan membawa kita kepada kerendahan hati untuk mengakui bahwa tanpa Allah, kita tidak dapat berbuat apa-apa (Yohanes 15:5).

Jadi, hidup baru dalam Kristus adalah hidup yang diawali dengan pertobatan untuk kembali kepada Allah dan dengan sukarela (bebas tanpa paksaan) meninggalkan hidup yang lama (berpusat pada diri) dan berbalik untuk hidup bagi Kristus (berpusat pada Allah). Hidup baru ini bukan peristiwa seketika, tetapi suatu perjalanan panjang hidup orang Kristen yang terus-menerus belajar dan dibentuk, dari bayi-bayi rohani menjadi dewasa dalam Tuhan Yesus (1Petrus 2:2). Kita rindu menyerahkan seluruh hidup kita untuk hidup selaras dengan kehendak-Nya. Tetapi, ini baru bisa menjadi sempurna ketika kita berjumpa dengan Kristus muka dengan muka.

Alkitab memberikan pengertian yang sangat jelas bahwa setelah kelahiran baru, kita akan mampu merespons suara Allah melalui firman-Nya karena roh kita sekarang hidup dan kita akan bertumbuh menjadi “manusia ciptaan baru” yang tidak lagi hidup bagi diri sendiri, melainkan hidup “di dalam Kristus” dan bagi Kristus.

“… karena kamu telah menanggalkan manusia lamamu bersama dengan perbuatan-perbuatannya. Kenakanlah manusia baru, yang terus-menerus diperbarui dalam pengetahuan sesuai dengan gambar dari Penciptanya.” Kolose 3:9-10

Ayat ini menolong kita memahami bahwa hidup baru “di dalam Kristus” menghasilkan manusia baru yang memiliki pola atau cara hidup yang baru dan meninggalkan cara hidup manusia lama. Hidup baru “di dalam Kristus” adalah menjadi manusia baru yang terus-menerus diperbarui untuk semakin berpusat pada Allah dan hidup menurut kehendak Allah. Bukan orang Kristen yang tidak pernah berubah cara hidupnya.

“Perbaruilah roh pikiranmu. Kenakanlah manusia yang baru, yang diciptakan dalam rupa Allah dalam keadilan dan kekudusan yang sejati. ” Efesus 4:23-24

Menjadi manusia baru bukanlah keinginan atau kemauan manusia, melainkan kehendak Allah. Manusia tidak akan sadar akan perlunya hidup baru tanpa dibimbing Tuhan. Hanya oleh kuasa Roh-Nya, manusia baru akan mengalami transformasi sehingga roh dan pikirannya akan diperbarui senantiasa.

“Aku sudah disalibkan dengan Kristus. Bukan lagi aku yang hidup, melainkan Kristus yang hidup dalam aku. Hidup yang sekarang ini kuhidupi dalam daging adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah, yang mengasihi aku dan telah memberikan diri-Nya untuk aku.” Galatia 2:20

Sebagaimana Yesus katakan, hidup baru “di dalam Kristus” tidak lagi hidup sekadar hidup, tetapi hidup yang memberi banyak buah. Kristuslah yang menjadi Pokok Anggur dan kita yang telah dipersatukan dengan Kristus pasti kita akan menghasilkan buah-buah yang memuliakan Allah.

“Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku.” Yohanes 15:7-8

Hidup baru adalah hidup dalam Roh. Setelah dilahirkan kembali, Allah menghendaki kita tidak lagi hidup dalam daging, yaitu hidup yang hanya menuruti kehendak diri sendiri. Lalu, bagaimana kita dapat meninggalkan hidup dalam daging? Kita harus hidup dalam Roh karena Rohlah yang akan memberi hidup (Yohanes 6:63).

Mengapa kita harus hidup dalam Roh? Ketika kita menerima kelahiran baru dalam roh, manusia lama kita (yang hidup dalam dosa) tidak secara otomatis mati atau tidak ada lagi. Sekalipun Roh Kudus sudah tinggal dalam hati kita setelah kita menjadi orang percaya, kita masih sering membiarkan manusia lama kita menguasai pikiran dan hati kita. Itulah sebabnya, kita harus secara sadar mau mematikan kuasa daging kita agar kita hidup dalam Roh (Galatia 5:16).

Kita hidup dalam Roh ketika kita membiarkan Roh Kudus memimpin kita sehingga kita dapat berpikir, berbicara, dan bertindak sesuai dengan firman Allah (Roma 8:5). Inilah yang disebut sebagai hidup dalam Roh. Roh Kuduslah yang pada dasarnya memimpin kita, bukan diri kita sendiri yang sering dikuasai oleh kedagingan kita. Allah tidak pernah membiarkan kita berjalan sendiri dalam kehidupan dunia yang penuh godaan ini karena Ia tahu kita tidak mampu berjalan sendiri. Oleh karena itu, Allah mengirimkan Roh Kudus-Nya untuk menjadi Penolong bagi anak-anak-Nya.

Roh Kudus aan menyucikan hidup orang percaya. Yohanes 16:8-11 mengajarkan kita tentang peran Roh Kudus dalam menginsafkan manusia akan dosa. Roh Kudus berkarya dalam hati orang percaya dengan menerangi dan menyadarkan akan dosa, yang jauh dari kehendak Allah. Dengan cara demikian, Roh Kudus bekerja dan menyucikan manusia yang berdosa kembali kepada Allah. Perubahan itu terlihat melalui pekerjaan Roh Kudus setelah melahirbarukan dan membentuk kehidupan baru yang meninggikan dan memuliakan Kristus Yesus. Melalui lahir baru dan hidup baru, orang percaya dapat memiliki arah baru dan pengharapan baru.

Roh Kudus aan memelihara iman orang percaya sampai akhir hayatnya. Hidup baru adalah awal dari pemeliharaan dan penyertaan hidup orang percaya oleh Roh Kudus hari lepas hari. Seseorang yang telah memiliki hidup baru akan memiliki kesadaran baru secara rohani. Roh Kudus akan mengajarkan dan mengarahkan orang percaya untuk semakin mengenal dan mengasihi-Nya. Melalui peran Roh Kudus dalam memelihara orang percaya, kita akan menikmati persekutuan dalam Bapa dan Putra selama-lamanya (Yohanes 14:16).

Ketika menjalani kehidupan baru kita, kita menyadari bahwa manusia lama kita masih tetap ada dan tidak dihilangkan sekalipun kita telah dipersatukan dengan Kristus. Ingatlah, akan kedudukan kita “di dalam Kristus”, kita dinyatakan kudus dan sempurna oleh Allah karena Kristus. Memang keadaan kita selama di dunia masih bisa berbuat dosa, tetapi ketika kita memercayai dan berpegang kepada kenyataan bahwa kita sudah sempurna “di dalam Kristus” dan Kristus di dalam kita, maka kita menerima kekuatan untuk menolak hidup dalam manusia lama kita (kedagingan/dosa) dan berani hidup sebagai anak Tuhan.

Hari ini, tantangan untuk kita adalah untuk hidup baik sesuai dengan firman Tuhan, jika kita memang sudah dilahirkan kembali. Dengan bimbingan Roh Kudus, kita berusaha untuk hidup makin hari makin baik. Perbuatan yang benar atau baik dalam hidup baru adalah sambutan kita kepada kasihNya, sebagai rasa syukur kita kepada Tuhan. Kita juga tahu bahwa orang yang dengan sengaja tetap hidup bergelimang dalam dosa adalah orang yang tidak benar-benar percaya bahwa pengurbanan Yesus di kayu salib adalah karunia Allah yang terbesar untuk manusia, yang harus selalu disyukuri. Orang yang sedemikian adalah orang yang belum lahir baru, dan karena itu tidak bisa bertobat. Tidak ada kemungkinan lain.

“Sebab seperti tubuh tanpa roh adalah mati, demikian jugalah iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati.” Yakobus 2: 26

Antara godaan dan ujian

Berikut ini adalah kutipan bebas dari The MacArthur New Testament Commentary on 1 Corinthians 10.

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya. 1 Korintus 10:13

Jawaban Paulus di atas adalah bahwa seorang Kristen harus menyadari bahwa kemenangan selalu tersedia, karena orang percaya tidak akan pernah masuk ke dalam pencobaan yang tidak dapat ia hindari. Jawabnya: pencobaan apa pun yang menimpa kita adalah pencobaan yang biasa dialami manusia.

Arti dasar pencobaan (peirasmos) hanyalah menguji atau membuktikan, dan tidak mempunyai konotasi negatif. Apakah itu menjadi bukti kebenaran atau menjadi bujukan kejahatan tergantung pada respon kita. Jika kita menolaknya dengan kuasa Tuhan, itu adalah ujian yang membuktikan kesetiaan kita. Jika kita tidak melawan, maka hal itu akan menjadi ajakan untuk berbuat dosa. Alkitab menggunakan istilah ini dalam kedua cara tersebut, dan saya percaya bahwa Paulus memikirkan kedua arti tersebut di sini.

Ketika “Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai iblis” (Matius 4:1) jelas bahwa baik Tuhan maupun setan ikut serta dalam pengujian tersebut. Allah bermaksud agar ujian ini dilakukan untuk membuktikan kebenaran Anak-Nya, namun setan bermaksud agar Yesus menyalahgunakan kuasa ilahi-Nya dan memberikan kesetiaan-Nya kepada setan. Ayub diuji dengan cara yang hampir sama. Allah membiarkan Ayub menderita untuk membuktikan bahwa hamba-Nya adalah “orang yang jujur, yang takut akan Tuhan dan menjauhi kejahatan” (Ayub 1:8). Tujuan setan justru sebaliknya: untuk membuktikan bahwa Ayub setia hanya karena berkat dan kemakmuran yang telah Tuhan berikan kepadanya dan bahwa, jika hal-hal itu diambil, Ayub akan “pasti mengutuk Engkau di hadapanMu” (ayat 11) .

Ujian dari Tuhan tidak pernah berupa ajakan untuk melakukan kejahatan, dan Yakobus dengan tegas mengoreksi mereka yang menyarankan hal seperti itu. “Apabila seorang dicobai, janganlah ia berkata: ”Pencobaan ini datang dari Allah!” Sebab Allah tidak dapat dicobai oleh yang jahat, dan Ia sendiri tidak mencobai siapa pun.” (Yakobus 1:13). “Yang jahat” adalah kunci untuk membedakan kedua jenis godaan tersebut. Di padang gurun Allah menguji Yesus dengan kebenaran, sedangkan Setan menguji Dia dengan kejahatan. Godaan menjadi bujukan untuk melakukan kejahatan hanya ketika seseorang “terbawa dan terpikat oleh nafsunya sendiri. Kemudian keinginan yang timbul, melahirkan dosa” (Yakobus 1:14-15).

Sebelumnya dalam suratnya Yakobus menulis, “’Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan ‘ (Yakobus 1:2). Kata benda pencobaan (lihat juga ayat 12) dan ujian (ayat 3) berasal dari akar kata Yunani yang sama dengan kata kerja dicobai di ayat 13–14. Konteksnya menunjukkan pengertian mana yang dimaksud.

Tuhan sering kali menghadirkan keadaan ke dalam hidup kita untuk menguji kita. Seperti Ayub, kita biasanya tidak mengenalinya sebagai ujian, tentunya bukan dari Tuhan. Namun tanggapan kita terhadap hal-hal tersebut membuktikan kesetiaan atau ketidaksetiaan kita. Bagaimana kita bereaksi terhadap kesulitan keuangan, masalah sekolah, masalah kesehatan, atau kemunduran bisnis akan selalu menguji iman kita, ketergantungan kita kepada Bapa surgawi kita. Namun, jika kita tidak berpaling kepada-Nya, keadaan yang sama dapat membuat kita merasa getir, kesal, dan marah. Daripada berterima kasih kepada Tuhan atas ujian yang diberikan, seperti nasihat Yakobus, kita malah menyalahkan Dia. Kesempatan untuk menipu pajak pendapatan kita atau mengambil keuntungan yang tidak adil dalam suatu transaksi bisnis akan membuktikan kebenaran kita atau membuktikan kelemahan kita. Keadaan atau peluang hanyalah ujian, tidak baik atau buruk. Apakah hal ini menghasilkan kebaikan atau kejahatan, pertumbuhan rohani atau kemunduran rohani, sepenuhnya bergantung pada tanggapan kita.

Dalam Doa Bapa Kami Yesus berkata bahwa kita hendaknya memohon kepada Allah untuk tidak “membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat.” (Matius 6:13). “Yang jahat” lebih baik diterjemahkan “si jahat”, yang merujuk pada Setan. Dengan kata lain kita hendaknya berdoa agar Tuhan tidak membiarkan ujian menjadi godaan, dalam artian bujukan kepada kejahatan. Idenya adalah, “Tuhan, hentikan kami sebelum Setan mengubah ujian-Mu menjadi godaannya.”

Pencobaan yang “biasa” bagi manusia adalah satu kata (anthropinos) dalam bahasa Yunani yang berarti “apa yang bersifat manusiawi, merupakan ciri atau milik umat manusia”. Dengan kata lain, Paulus mengatakan tidak ada godaan yang bersifat supranatural atau supranatural. Godaan adalah pengalaman manusia. Istilah ini juga mengandung gagasan biasa atau khas, seperti yang ditunjukkan oleh umum. Godaan bukanlah pengalaman unik bagi kita. Kita tidak akan pernah mengalami godaan yang belum dialami oleh jutaan orang lainnya. Keadaannya berbeda-beda tetapi godaan dasarnya tidak. Bahkan Anak Allah “dicobai dalam segala hal sama seperti kita” (Ibrani 4:15), dan karena itu “Ia mampu menolong mereka yang dicobai” (2:18). Dan karena godaan adalah hal yang biasa bagi kita semua, kita dapat “saling mengaku dosa [kita]” (Yakobus 5:16) dan “saling menanggung beban” (Galatia 6:2). Kita semua berada di perahu yang sama.

Godaan bukan hanya umum bagi manusia tetapi Allah setia, yang tidak akan membiarkan Anda dicobai melebihi kemampuan Anda. Tidak ada orang percaya yang dapat menyatakan bahwa ia diliputi oleh godaan atau bahwa “iblis memaksa saya melakukan hal itu.” Tidak ada seorang pun, bahkan Setan sekalipun, yang dapat membuat kita berbuat dosa. Dia bahkan tidak bisa membuat orang yang tidak beriman berbuat dosa. Tidak ada godaan yang lebih kuat daripada sumber daya rohani kita: penyertaan Tuhan. Manusia berbuat dosa karena ia rela berbuat dosa, yaitu keputusannya sendiri.

Pagi ini kita harus sadar bahwa orang Kristen mendapat bantuan Bapa surgawinya untuk menolak godaan. Tuhan itu setia. Dia tetap setia pada milik-Nya. “Dari enam macam kesesakan engkau diluputkan-Nya dan dalam tujuh macam engkau tidak kena malapetaka.” (Ayub 5:19). Ketika kesetiaan kita diuji, kita mempunyai kesetiaan Allah sebagai sumber daya kita. Kita dapat yakin sepenuhnya bahwa Dia tidak akan membiarkan [kita] dicobai melampaui kemampuan [kita]. Itulah jawaban Tuhan saat kita berdoa, “janganlah membawa kami ke dalam pencobaan, tetapi lepaskanlah kami dari pada yang jahat (Matius 6:13). Dia tidak akan membiarkan kita mengalami ujian apa pun yang tidak mampu kita jalani bersama penyertaan-Nya.

Kesadaran dalam menghadapi tantangan hidup

“Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.” 1 Korintus 10:13

Ayat di atas adalah ayat yang tidak mudah difahami. Mungkinkah itu berarti jika saya mengalami suatu ujian hidup dan bisa bertahan, keduanya adalah anugerah, dan anugerahlah yang menentukan semuanya dan saya tidak mempunyai andil apa pun? Atau, apakah yang dimaksudkan adalah bahwa kita dapat menangani persoalan kita jika kita menerimanya dengan iman dalam bantuan ilahi, dan bahwa Tuhan sendiri melalui kasih karunia memampukan kita untuk menangani apa yang Dia berikan kepada kita? Manakah dari keduanya yang lebih benar? Selanjtnya, apa yang dimaksud dengan “jalan keluar”? Apakah inu berarti kita selalu berhasil? Apakah ini berarti kita tidak pernah gagal dalam tugas apa pun? Apakah itu berarti kita tidak pernah membuat kesalahan?

Apakah ayat di atas menyatakan bahwa kita selalu berhasil? Apakah itu berarti tidak pernah tersandung, tidak pernah gagal, tidak pernah mendapat nilai C atau F dalam ujian tertentu yang Tuhan berikan? Apakah kegagalan kita adalah kegagalan yang dibuat Tuhan? Apakah kegagalan kita adalah kegagalan Tuhan? Jawaban untuk semua itu adalah tidak. Bukan berarti demikian. Jika kita memiliki ketergantungan yang sempurna pada keberadaan-Nya bagi kita di dalam Kristus, kita akan melewati setiap ujian dengan cemerlang, namun Allah tidak menjanjikan ketergantungan yang sempurna pada kasih karunia-Nya yang mahakuasa.

Ketika Paulus mengatakan bahwa Tuhan tidak akan memberikan pencobaan (tes kehidupan) yang melampaui kemampuan kita, maksudnya adalah pecobaan yang melebihi apa yang kita mampu lakukan dengan pertolongan Tuhan. Bukan pencobaan yang bisa kita hadapi dengan kekuatan sendiri. Karena itu sering kita menderita karena adanya pencobaan yang melebihi kekuatan kita sebagai manusia. Kita bisa memahami itu karena beberapa hal lain yang dia katakan. Misalnya, dalam 2 Korintus 9:8 ia berkata, “Dan Allah sanggup melimpahkan segala kasih karunia kepada kamu, supaya kamu senantiasa berkecukupan di dalam segala sesuatu dan malah berkelebihan di dalam pelbagai kebajikan.”

Dengan kata lain, dalam menghadapi setiap ujian atau godaan, pertanyaan untuk kita adalah: Akankah saya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan, yaitu meminta pertolongan-Nya? Paulus berkata, “Akan ada kasih karunia.” Dia tidak berkata, “Aku bergantung pada diriku untuk menggunakan sumber dayaku tanpa bergantung pada kasih karunia.” Sebaliknya, Allah berkata kepada kita, “Aku memberimu kasih karunia untuk melakukannya, tetapi kamu tidak terlepas dari kuasa-Ku untuk menolong.”

Tuhan tidak akan pernah memberikan ujian kepada umat-Nya yang mana Dia tidak akan menopang mereka dan membawa mereka menuju kemuliaan abadi. Paulus berkata dalam 1 Korintus 15:10, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku.” Dengan kata lain, jika kita bertahan dalam ujian apa pun atau menyelesaikan pekerjaan apa pun ketika kita diuji, itu adalah anugerah. Anugerahlah Tuhan yang menentukan, bukan kita yang menentukan. Apa yang dimaksud dengan pernyataan “Tuhan tidak akan pernah memberi kita lebih dari apa yang bisa kita tangani” adalah kita yang ditolong oleh anugerah yang berdaulat, bukan kita yang tidak mau bergantung pada kuasa pertolongan Tuhan.

Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita berarti pada waktu kita dicobai, adalah kita yang dikuatkan oleh anugerah Tuhan, bukan kita yang mau bergantung pada kekuatan sendiri.

Kalau begitu, apa yang dijanjikan ketika Dia mengatakan bahwa kita akan selalu mempunyai, dalam setiap ujian, sebuah kelepasan dan ketika Dia mengatakan bahwa kita akan mendapat karunia untuk setiap perbuatan baik? Apa yang dijanjikan pada akhirnya adalah ini: Tuhan tidak akan pernah membiarkan kita tersandung atau gagal sehingga kita tidak pulih dan bertobat serta dipulihkan sesudahnya. Dengan kata lain, Dia tidak akan pernah membiarkan kita jatuh dan berbuat dosa hingga menjadi murtad dan terkutuk. Dia akan memampukan kita menghasilkan buah iman dan ketekunan yang sejati sampai akhir.

Berikut adalah teks yang menyokong hal itu:

Filipi 1:6: “Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.”

Roma 8:30: “Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.”.

Lukas 22:31–32: “Simon, Simon, lihat, Iblis telah menuntut untuk menampi kamu seperti gandum, tetapi Aku telah berdoa untuk engkau, supaya imanmu jangan gugur. Dan engkau, jikalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.”

1 Petrus 1:5: “Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir.”

1 Korintus 1:8: “Ia juga akan meneguhkan kamu sampai kepada kesudahannya, sehingga kamu tak bercacat pada hari Tuhan kita Yesus Kristus.”

Pagi hari ini kita bisa menarik kesimpulan. “Tuhan tidak akan pernah memberi kita lebih dari apa yang bisa kita tangani” adalah kebenaran Alkitab. Tuhan tidak akan pernah memberikan ujian kepada umat-Nya yang mana Dia tidak akan menopang mereka dan membawa mereka menuju kemuliaan abadi. Kita akan dimampukan untuk melakukan semua yang harus kita lakukan untuk mencapainya.

Mendidik orang lain agar mau berbuat baik

Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanyapun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu. Amsal 22: 6

Tugas orang tua adalah mendidik anak-anaknya agar menjadi orang yang berguna. Berguna untuk apa? Bagi orang non-Kristen, mungkin berguna untuk diri sendiri, anak-istri, orang tua, masyarakat dan negara. Bagi orang Kristen, tentunya berguna untuk kemuliaan Tuhan karena itulah tujuan Tuhan dalam menciptakan manusia. Lalu berguna itu apa? Tentunya banyak orang akan mengatakan bahwa itu adalah menyangkut hidup baik, perbuatan baik dan hal-hal lain yang baik. Bagi orang Kristen, itu berarti mempersembahkan seluruh hidup kita untuk kemuliaan-Nya, baik melalui hidup, perbuatan, tingkah laku dan berbagai kesalehan.

Dapatkah seorang bayi menjadi orang dewasa yang berguna dengan sendirinya? Tentu tidak dapat. Semua anak tumbuh dengan bimbingan orang tua dan guru mereka, sehingga menjadi orang dewasa yang bijaksana, yang mengerti bagaimana harus hidup dalam kaidah masyarakat dan hukum yang berlaku. Mereka diharapkan bisa memberikan sumbangsih kepada banyak orang, bangsa dan negara. Bagaimana dengan bayi dari keluarga Kristen? Sama saja, mereka perlu dibimbing untuk membedakan apa yang baik dan yang buruk. Walaupun demikian, hanya Roh Kudus yang bisa membimbing mereka untuk bisa mempersembahkan apa yang benar-benar baik untuk Tuhan, untuk memuliakan Dia. Roh Kuduslah yang membimbing mereka ke arah keselamatan.

Berbeda dari apa yang tertulis dalam Amsal di atas, banyak orang tua di zaman ini yang mengabaikan pentingnya kedudukan dan tugas mereka. Mereka kurang menyadari bahwa anak mereka mendengar apa yang diucapkan dan apa yang diperbuat mereka. Mereka kurang berusaha untuk menjadi contoh yang baik bagi generasi muda. Dalam hal ini, orang Kristen pun mudah jatuh dalam perangkap serupa. Lebih dari itu, banyak gereja dan pendeta yang kurang menekankan pentingnya hidup berdisiplin dan menghindari dosa. Mereka justru mengajarkan bahwa tidak ada perbuatan baik yang bisa dilakukan manusia karena manusia sudah berdosa dan rusak total (total depravity).

Memang kenyataan bahwa bentuk dan fungsi keluarga di zaman ini juga sudah berubah sehingga anak-anak mereka tidak lagi merasa perlu untuk belajar dari orangtua. Anak zaman sekarang lebih senang belajar dari teman-teman seumur. Dengan demikian, rasa hormat anak kepada orang tuanya menjadi berkurang dan orang tua mulai kehilangan pengaruh terhadap anak-anaknya.

Terlepas dari banyaknya kemungkinan penyebab kemunduran pendidikan anak yang dikemukakan orang, adalah kenyataan bahwa orang tua di zaman ini, cenderung merasa bahwa kebebasan anak adalah penting agar mereka dapat berdiri sendiri di kemudian hari. Ada juga yang merasa bahwa selama kebutuhan keuangan terpenuhi, hidup anak akan terisi kebahagiaan. Hidup anak mereka adalah tanggung jawab mereka sendiri.

Total depravity sebenarnya bukan berarti bahwa manusia sudah bejat sebejat-bejatnya. Sebesar apa pun dosa manusia, kepadanya ada karunia Tuhan yang menyebabkan mereka sadar tentang apa yang baik dan apa yang jahat. Sekalipun perbuatan baik mereka tidak cukup untuk membeli keselamatan di surga, Tuhan menetapkan panduan-panduan tertentu di dunia agar seluruh manusia bisa hidup teratur. Tuhan tidak menghendaki kekacauan, karena itu pemerintah-pemerintah di dunia diutus-Nya untuk menjadi wakil-Nya, sekalipun para pemimpin negara mungkin bukan orang Kristen. Mereka bertugas agar seluruh rakyatnya hidup dalam batas-batas hukum dan keadilan masyarakat. Perbuatan baik selama hidup di dunia harus diajarkan dan diterapkan, bukan ditentang atau diabaikan. Lebih dari itu, perbuatan baik untuk memuliakan Tuhan harus diajarkan oleh umat Kristen agar mereka yang beriman bisa hidup dalam iman yang hidup.

Pagi ini, firman Tuhan mengingatkan bahwa peranan orang tua (baik orang yang mempunyai anak atau orang yang sudah dewasa) adalah sangat besar dalam pendidikan kaum muda. Pendidikan bukan saja yang menyangkut pengetahuan, tetapi justru lebih penting dalam hal moral dan etika Kristen. Orang tua harus bisa memberikan bimbingan yang baik berdasarkan prinsip kasih sesuai dengan firman Tuhan agar anak-anak mereka bisa memakainya seperti sebuah karangan bunga yang indah bagi kepala mereka, dan seperti kalung bagi leher mereka. Generasi muda akan bisa belajar dari generasi sebelumnya, jika mereka bisa melihat nilai dan manfaat dari apa yang diajarkan dan dipraktikkan dalam hidup sehari-hari.

Permulaan hikmat adalah takut akan TUHAN, semua orang yang melakukannya berakal budi yang baik. Mazmur 111: 10

Jangan menguji kesabaran Tuhan

Yesus berkata kepadanya: “Ada pula tertulis: Janganlah engkau mencobai Tuhan, Allahmu!” Matius 4:7.

Apa yang dinyatakan di sini mungkin bukan pesan yang sering disampaikan dari mimbar gereja di zaman ini, tetapi adalah hal yang sangat penting. “Jangan mencobai Tuhan, Allahmu,” adalah jawaban tegas Yesus kepada iblis di padang gurun ketika Dia digoda untuk melemparkan diri-Nya dari tebing agar Tuhan dapat menyelamatkan Dia. Hal ini juga tertulis dalam Perjanjian Lama sebagai salah satu perintah yang diberikan Musa kepada bangsa Israel. Tapi apa maksudnya mencobai Tuhan?

Kita masing-masing dilahirkan dengan hati nurani, sebuah “suara hati”, yang bertindak sebagai panduan untuk memberi tahu kita apa yang benar dan salah. Bahkan sejak kecil, kita dapat merasa adanya peringatan ketika kita menentang suara hati tersebut. Sebagai orang dewasa, kita makin sanggup untuk mencari alasan jika kita ingin melakukan apa yang bertentangan dengan suara hati kita. Tetapi, jika kita sekarang dengan sengaja melakukan apa yang kita tahu salah dan bertentangan dengan hati nurani kita, namun tetap berharap Tuhan memberkati kita dan mengampuni kita berulang kali atas hal-hal yang kita tahu salah, maka kita sedang mencobai Dia.

Dalam Perjanjian Lama, Allah berjanji untuk memberkati umat Israel jika mereka menaati perintah-perintah-Nya, namun Dia juga menyatakan bahwa kutukan akan menimpa mereka jika mereka tidak mengikuti hukum yang Dia berikan kepada mereka (Ulangan 30:19). Bangsa Israel bebas memilih apakah akan menerima berkat atau kutukan, dan mereka sering kali memilih untuk melanggar hukum, berpaling dari Tuhan di dalam hati mereka. Namun anehnya, mereka tetap berharap untuk diberkati dengan berkat duniawi!

Sangat mudah bagi orang Kristen untuk memiliki sikap ini, dan sekarang saya gambarkan sebagai apa yang mungkin terjadi dalam hidup saya. Saya ingin berkat Tuhan atas hidup saya; untuk memiliki kehidupan yang baik dan nikmat. Tapi saya juga ingin hidup untuk diri sendiri, melakukan segala sesuatu sesuai keinginan saya dan menyerah pada keinginan daging saya. Ini adalah pewujudan kehendak bebas manusia yang sering menjatuhkan mereka ke dalam dosa dan membuat mereka menjadi orang Kristen kedagingan (carnal Christian), sekalipun mereka mungkin tidak yakin akan adanya kehendak bebas. Manusia sejak awalnya bebas untuk memilih dan mendapatkan dosa apa saja yang mereka ingini.

Mungkin karena berkumpul dengan beberapa teman yang saya tahu tidak baik cara hidupnya, takut untuk berbicara menentang sesuatu yang saya tahu salah, atau ikut-ikutan pergi ke tempat yang saya tahu tidak seharusnya saya datangi. Mungkin karena bisnis saya, terpaksalah saya membuat transaksi yang melawan hukum, seperti banyak orang lain. Ini tidak diketahui siapapun, tetapi sekalipun Tuhan tahu saya kurang peduli karena yakin bahwa semua itu tidak mengganggu keselamatan yang sudah diberikan-Nya.

Saya membiarkan diri saya melakukan hal-hal yang saya tahu salah. Mungkin menurut saya ini tidak terlalu serius, karena “sebagian besar” dari saya adalah orang yang baik, dan saya kira “pasti Tuhan ingin saya menjadi orang normal dan hidup tenang”. Atau mungkin saja saya berpikir “Saya hanya akan meminta ampun setelahnya dan semuanya akan baik-baik saja.” Juga, barangkali saya berpikir bahwa dosa bisa diatasi dengan berdoa meminta ampun setiap hari. Kalau saya bersikap seperti ini, berarti saya sedang mencobai Tuhan karena saya menginginkan berkat-Nya, namun tetap sengaja berbuat dosa.

Sikap seperti itu sebenarnya hanyalah kesombongan dan kemunafikan, yang menyebabkan Tuhan marah kepada saya. Namun jika saya memilih untuk mendengarkan suara Roh Kudus untuk merendahkan diri dan melepaskan hawa nafsu dan keinginan saya sehingga saya dapat melakukan kehendak-Nya atas keinginan saya sendiri (tanpa paksaan), maka Tuhan akan mencurahkan kasih karunia-Nya kepada saya. Hidup dan sikap sedemikian akan diberkati oleh-Nya (Yakobus 4:6; 1 Petrus 5:5). Sebaliknya, jika Tuhan melihat saya yang terus bergelimang dalam dosa atau mengabaikan perintah-Nya, Ia akan memberikan hukuman-Nya selama saya hidup di dunia. Ini tidak ada hubungannya dengan keselamatan yang akan diberikan Tuhan kepada saya di surga. Sebagai anak-Nya saya akan dihajar-Nya untuk kebaikan saya sendiri.

“TUHAN itu berpanjangan sabar dan kasih setia-Nya berlimpah-limpah, Ia mengampuni kesalahan dan pelanggaran, tetapi sekali-kali tidak membebaskan orang yang bersalah dari hukuman, bahkan Ia membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat.” Bilangan 14:18

Apa arti ayat di atas yang dulunya disampaikan kepada bani Israel masih relevan untuk kita? Apakah ayat ini berlaku kepada setiap orang, termasuk orang percaya? Tentu! Itu karena setiap orang bisa dan bahkan sengaja melakukan berbagai dosa dan pelanggaran. Orang Kristen tidak boleh merasa bahwa karena mereka sudah ditebus, kemarahan Tuhan tidak akan dialami selama hidup di dunia. Kematian Ananias dan Safira adalah salah satu contoh yang paling menyedihkan di Alkitab (Kisah 5:1-11).

Kita dapat memperoleh beberapa aplikasi, tapi mari kita perhatikan beberapa saja:

  • Pertama, kita harus segera bertobat, terutama berhati-hati terhadap dosa-dosa yang begitu mudah sudah menjerat anggota keluarga kita di masa lalu. Seperti itu juga, dosa-dosa kita, jika diabaikan, akan berdampak pada anak-anak kita yang melihat bagaimana kita mengamini dosa-dosa itu.
  • Kedua, kita diingatkan akan pentingnya para orang tua Kristen dalam memuridkan dan mendoakan anak-anak mereka dengan benar. Orang tua yang berbuat dosa sebagai kebiasaan, tidak akan bisa mendoakan anak-anaknya untuk tidak melakukannya. Perlu disadari, dalam Alkitab biasanya Tuhan memberkati umat-Nya melalui garis kekeluargaan.
  • Ketiga, dosa mempunyai akibat langsung bagi pelakunya, namun bisa juga mempunyai akibat praktis bagi orang-orang di sekitar kita dan generasi mendatang, terutama jika kita memegang posisi yang penting dalam masyarakat. Kita tidak bisa mengharapkan anak buah kita untuk jujur jika kita sendiri tidak jujur. Dosa adalah penyakit menular!
  • Keempat, sekalipun kita tidak secara langsung menanggung dosa orang tua kita, kita bisa menjadi budak dosa atau budak kebenaran (Roma 6:12-23). Tuhan menetapkan kita dalam keluarga, budaya, dan masyarakat kita masing-masing, dengan segala hak, godaan, dan kerugian yang menyertai konteks tersebut (lihat Kisah Para Rasul 17:26). Dengan demikian, adalah benar-benar penting dalam hidup kita pribadi untuk mengambil keputusan apakah kita berada di bawah kepemimpinan Adam atau Kristus (Roma 5:12-21).

Pagi ini, pertanyaan untuk kita yang sudah diselamatkan oleh Yesus: apakah Anda takut akan Tuhan, ataukah Anda sering menguji kesabaran Tuhan? Apakah Anda sadar bahwa Tuhan yang mahakasih itu jua Tuhan yang mahasuci? Sadarkah bahwa sebagai umat-Nya Anda diciptakan untuk memuliakan Dia dalam hidup Anda? Hanya Anda yang bisa menjawabnya.

“Siapakah orang yang takut akan TUHAN?  Kepadanya TUHAN menunjukkan jalan yang harus dipilihnya. Orang itu sendiri akan menetap dalam kebahagiaan dan anak cucunya akan mewarisi bumi.” Mazmur 25:12-13

Diciptakan untuk perbuatan baik

Ditulis oleh Pdt. Yakub Tri Handoko, Reformed Exodus Community

“Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.” Efesus 2:10

Kita mungkin sudah berkali-kali mendengar ucapan orang bahwa semua agama itu sama. Semua sama-sama mengajarkan perbuatan baik. Begitu populernya ungkapan ini – apalagi dalam iklim postmodern yang kental dengan relativismenya – banyak orang serta-merta mengaminkan tanpa memikirkannya secara serius.

Beberapa agama jelas mengajarkan kejahatan, misalnya pengorbanan manusia atau penggunaan sihir dalam ritual mereka. Beberapa yang mengajarkan perbuatan baik pun ternyata memiliki konsep dan motivasi yang berlainan tentang kebaikan. Perbedaan ini jelas tidak boleh diabaikan begitu saja, karena baik atau tidaknya suatu tindakan juga sangat ditentukan oleh konsep dan motivasi di baliknya.

Dalam khotbah hari ini kita akan belajar tentang empat konsep penting tentang perbuatan baik yang Alkitabiah. Konsep-konsep tersebut berguna untuk membentuk motivasi yang benar dalam hati kita. Mengapa kita berbuat baik?

Pertama, karena kita adalah milik Allah (ayat 10a). Poin ini agak sedikit sulit ditangkap dalam terjemahan LAI:TB. Penekanan pada terjemahan “buatan Allah” tidak terlalu jelas. Apakah penerjemah LAI:TB memaksudkan “buatan milik Allah” atau “buatan oleh Allah”? Hampir semua versi Inggris secara lebih kentara menyiratkan makna yang pertama. Hampir semua memilih “karya milik-Nya” (his workmanship). Aspek kepemilikan ini tampaknya sangat ditekankan oleh Paulus. Dalam teks Yunani, kata “milik-Nya” (genitif autou) sengaja diletakkan di awal kalimat untuk penekanan.  

Bentuk kata kerja kekinian “adalah” (esmen) di ayat ini cukup menarik untuk diperhatikan. Sebelumnya Paulus sudah membicarakan tentang tema kepemilikan ini, tetapi dalam kaitan dengan hal-hal yang futuris. Efesus 1:14 menerangkan bahwa Roh Kudus adalah jaminan ilahi bagi kita sampai kita nanti sepenuhnya menjadi milik Allah melalui penebusan Kristus. Ketegangan antara kekinian dan keakanan ini sungguh indah. Kita sudah menjadi milik Allah sekarang, tetapi status ini akan terlihat lebih kentara dan sempurna pada saat Kristus datang kembali yang kedua.

Kita bukanlah milik yang sembarangan. Kata benda “buatan” (poiēma) dalam Perjanjian Baru merujuk pada suatu hasil karya yang istimewa. Dalam Roma 1:20 kata poiēma digunakan untuk alam semesta. Dalam Perjanjian Lama (LXX) kata ini dikenakan pada pekerjaan seorang penjunan (Yesaya 29:16) atau pekerjaan lain yang indah (Pengkhotbah 2:4). Jika dikaitkan dengan Allah, karya ini menyiratkan sesuatu yang luar biasa sampai-sampai manusia tidak dapat memahami sepenuhnya (Pengkhotbah 3:11) dan hanya bisa memuji semuanya itu (Mazmur 64:10; 92:5). Tidak heran, para penerjemah versi Inggris sepakat memilih kata “hasil karya” (workmanship).

Poin yang ingin disampaikan Paulus adalah bahwa identitas dan perilaku kita ditentukan oleh siapa yang memiliki kita. Kita adalah milik Allah. Status ini seharusnya mempengaruhi cara kita menghargai diri sendiri (selalu bersyukur dan tidak minder dengan keadaan kita). Status ini juga sepatutnya membentuk perilaku kita (tidak sembarangan dengan hidup kita).

Jika kita mencermati, barang-barang yang dihasilkan secara langsung oleh tangan manusia (misalnya karya seni) memiliki nilai yang lebih besar daripada yang diproduksi dengan mesin. Batik tulis, apalagi dengan desain yang unik dan khusus, berharga sangat tinggi. Seandainya lukisan dan foto memiliki obyek dan tingkat keindahan yang sama, harga lukisan biasanya lebih mahal. Sadarkah kita bahwa kita bukan produk massal Allah? Setiap kita adalah unik di mata Allah. Setiap kita merupakan hasil karya-Nya yang indah. Kita milik Dia!

Kedua, karena kita diciptakan di dalam Kristus Yesus (ayat 10b). Dalam teks Yunani frasa ini merupakan anak kalimat (bentuk partisip “diciptakan” = ktisthentes). Fungsinya sebagai penjelasan terhadap ayat 10a. Jadi, ayat 10a dan 10b sama-sama menyinggung tentang ide penciptaan, namun dengan penekanan yang berlainan. Kalau ayat 10a lebih menerangkan aspek kepemilikan, ayat 10b lebih pada sarana atau cara. Bagaimana Allah menciptakan kita sebagai karya-Nya yang indah (ayat 10a)? Jawabannya adalah “di dalam Kristus Yesus” (en christō Iēsou, ayat 10b).

Ungkapan “di dalam Kristus/Yesus/Dia/Tuhan” memang sering muncul di Surat Efesus (1:1, 3, 4, 9, 10, 11, 12, 13, 20; 2:5, 6, 7, 10, 13, 21; 3:6, 11, 21; 4:1, 21, 32; 6:10, 21). Sesuai konteks Efesus 2:10, kita sebaiknya memahami “di dalam Kristus” dalam kaitan dengan persekutuan kita di dalam Dia. Ayat 5-6 mengaitkan “di dalam Kristus”  dengan persekutuan orang percaya dengan kematian dan kebangkitan Kristus. Di bagian selanjutnya “tanpa Kristus” (2:12) juga dikontraskan dengan “di dalam Kristus” (2:13), sehingga jelas “di dalam Kristus” merujuk pada kebersamaan dengan Dia.

Seandainya Paulus memaksudkan “di dalam Kristus” berarti “melalui Kristus,” ia mungkin akan menggunakan kata depan dia (melalui), bukan en (di dalam). Walaupun “melalui Dia” dan “di dalam Dia” berkaitan erat dan muatan teologis di dalamnya sama-sama benar, penekanan di ayat 10b lebih diletakkan pada persekutuan dengan Kristus, bukan Kristus sebagai agen atau subyek. Dalam persekutuan kita dengan Dia, kita menjadi ciptaan yang baru (bdk. 2 Kor 5:17; Gal 6:15). Manusia lama yang dikuasai oleh dosa dan hawa nafsu (2:1-3) sudah dihidupkan kembali (2:5-6). Manusia lama yang dibatasi oleh tembok-tembok jasmaniah (misalnya perseteruan etnis) telah dijadikan manusia yang baru (2:15).

Ketiga, karena kita diselamatkan untuk berbuat baik (ayat 10c). Frasa “untuk melakukan perbuatan baik” (lit. “untuk perbuatan-perbuatan baik”) muncul sesudah frasa “diciptakan di dalam Kristus Yesus.” Hal yang sederhana ini seringkali diabaikan. Perbuatan baik kita mengikuti keselamatan di dalam Kristus. Perbuatan baik bukan mendahului keselamatan. Dengan kata lain, kita berbuat baik karena sudah diselamatkan, bukan supaya diselamatkan. Keselamatan adalah sepenuhnya anugerah Allah, bukan hasil usaha kita (2:8-9). Sesudah diselamatkan, kita baru berbuat baik sebagai wujud ucapan syukur kepada Allah dan realisasi rencana-Nya. Seorang penafsir dengan tepat mengutarakan kebenaran ini dalam kalimat: “keselamatan kita adalah untuk perbuatan baik, bukan melalui perbuatan baik.”  

Kebenaran yang menjadi keunikan kekristenan ini sayangnya seringkali mudah dilupakan oleh orang-orang Kristen sendiri. Mereka berpikir bahwa tujuan keselamatan adalah kehidupan bahagia yang kekal di surga. Pikiran semacam ini kurang tepat. Kehidupan kekal di surga adalah hasil tak terelakkan, tetapi bukan tujuan. Siapa saja yang percaya kepada Kristus Yesus secara pribadi sebagai Tuhan dan Juruselamat pasti akan menerima kehidupan kekal di surga kelak, namun – sekali lagi – ini bukanlah tujuan keselamatan.

Dalam perspektif Paulus, perbuatan baik adalah hal yang mustahil sebelum keselamatan di dalam Kristus. Semua orang yang berada di luar Kristus adalah mati di dalam dosa (2:1). Mereka takluk pada keinginan para penguasa kerajaan angkasa atau roh-roh jahat (2:2). Natur mereka juga tercemar oleh dosa sehingga mereka dikuasai oleh hawa nafsu (3:3). Satu-satunya solusi bagi keadaan mengenaskan tersebut adalah dihidupkan bersama Kristus (2:5), diangkat ke sruga lebih tinggi daripada para penguasa kerajaan angkasa (2:6), dan dijadikan ciptaan baru di dalam Kristus (2:10).

Keempat, karena perbuatan baik adalah rencana kekal Allah untuk kita (ayat 10d). Perbuatan baik Kristiani memang mengikuti keselamatan (ayat 10c). Walaupun demikian, Allah ternyata sudah memikirkan hal itu jauh sebelumnya. Dia sudah menyiapkan itu sebelumnya (proētoimasen).

Pembaca surat ini pasti teringat pada rencana kekal Allah yang disinggung oleh Paulus di awal surat. Orang-orang percaya sudah dipilih di dalam Kristus “sebelum dunia dijadikan” (1:4). Kita telah ditentukan “dari semula” (1:5, 11). Rencana ilahi ini Allah tetapkan berdasarkan kehendak-Nya yang bebas (1:9, 10b). Kita tidak mengerti alasan di balik semua keputusan kekal ini, tetapi kita tahu dengan pasti bahwa Allah menetapkan itu dengan alasan-alasan tertentu yang sesuai dengan hikmat dan pengertian-Nya (1:8).

Allah menetapkan segala sesuatu (1:11). Salah satu yang Ia tetapkan adalah perbuatan-perbuatan baik kita (2:10d). Dari kekekalan Ia sudah menentukan supaya kita hidup di dalam kebaikan. Untuk merealisasikan rencana inilah Allah menyelamatkan kita di dalam Kristus. Jadi, keselamatan di dalam Kristus merupakan sarana demi perwujudan rencana Allah.

Konsep ini seringkali diremehkan, bahkan oleh orang Kristen sendiri. Mereka menggunakan Allah untuk mencapai rencana hidup mereka. Allah tidak lagi menjadi perencana maupun tujuan hidup, melainkan sekadar sebagai sarana atau alat. Bukankah banyak orang Kristen yang tidak serius menggumulkan rencana hidup seturut dengan kehendak kekal Allah? Bukankah mereka lebih sering meminta pertolongan Allah untuk menggenapi ambisi dan keinginan hidup mereka tanpa mau tahu apakah ambisi dan keinginan itu memang sesuai dengan rencana Allah? Bukankah banyak orang Kristen telah menentukan kekayaan, kesuksesan, dan kenyamanan hidup sebagai tujuan hidup mereka, lalu meminta Allah untuk merealisasikan hal tersebut? Ini adalah sebuah ironi yang mengenaskan. Perancang justru dijadikan tukang. Pembuat rencana hanya dijadikan sarana. Allah bukan dikasihi dan ditaati, melainkan dimanipulasi!

Sebagai penutup, izinkan saya sekali lagi mengajarkan konsep kebaikan Kristiani seturut dengan Katekismus Heidelberg. Dalam khotbah beberapa minggu yang lalu saya sudah sempat menyinggung hal ini. Sama seperti Paulus, saya ingin berkata: “Menuliskan hal ini lagi kepadamu tidaklah berat bagiku dan memberi kepastian kepadamu” (Flp 3:1b).

Artikel ke-91 dari katekismus ini menerangkan bahwa perbuatan baik yang sejati harus memiliki beberapa katakteristik: (1) muncul dari iman yang benar; (2) seturut dengan perintah Tuhan di dalam kitab suci; (3) dilakukan untuk kemuliaan Allah; (4) bukan sekadar kesesuaian dengan tradisi atau ajaran. Berdasarkan ajaran ini kita mengerti dengan lebih jelas mengapa orang-orang luar yang terlihat saleh dan santun pun termasuk kategori orang yang tidak baik di hadapan Allah.

Jika konsep dan motivasi perbuatan baik kita lebih benar, hal itu seyogyanya berimbas pada perilaku kita sehari-hari. Sangat disayangkan apabila orang-orang Kristen justru kalah jujur dalam berbisnis daripada orang-orang lain. Sangat memalukan apabila orang-orang Kristen justru kurang mengasihi dibandingkan orang-orang lain. Sangat menyedihkan apabila orang-orang Kristen justru kalah sabar dibandingkan orang-orang lain. Siapkah Saudara mensyukuri keselamatanmu di dalam Kristus Yesus dan menggenapi rencana kekal Allah sebagai pemilik dari kehidupanmu? Soli Deo Gloria.

Membuang adalah kata kerja aktif

“Karena itu buanglah segala kejahatan, segala tipu muslihat dan segala macam kemunafikan, kedengkian dan fitnah. Dan jadilah sama seperti bayi yang baru lahir, yang selalu ingin akan air susu yang murni dan yang rohani, supaya olehnya kamu bertumbuh dan beroleh keselamatan” 1 Petrus 2:1-2

Berdasarkan arti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kerja pada dasarnya bisa digunakan untuk menyatakan suatu perbuatan, kejadian, proses, ataupun aktivitas yang dilakukan oleh pelaku atau subjek. Sebuah kalimat biasanya tidak hanya memuat kata kerja, tetapi bisa juga diisi dengan kumpulan kata kerja (frasa verba), kata sifat (adjektiva), frasa adjektiva, dan kata benda (nomina), atau frasa nomina. Maka dari itu, kata kerja bisa diberikan imbuhan pada awal kalimat, akhir kalimat, bahkan juga tengah kalimat.

Kata kerja berdasarkan subjeknya dapat dikelompok menjadi dua, yaitu kata kerja aktif dan kata kerja pasif. Kata kerja aktif adalah kata kerja yang mendapatkan imbuhan berupa me- atau ber-. Kata kerja aktif biasanya biasanya sering digunakan untuk membuat penjelasan terkait aktivitas yang dilakukan subjek atau seseorang yang melakukan. Contoh kata kerja aktif di Alkitab, antara lain yaitu “memotong”, “berlari”, dan “membuang”.

Dalam ayat di atas kata kerja yang menjadi pokok pembicaraan adalah “membuang”. Petrus menjelaskan secara spesifik apa artinya hidup sebagai umat yang dipilih oleh Tuhan. Kristus adalah batu fondasi rumah rohani yang sedang dibangun Allah. Kita harus berperang melawan keegoisan dan keinginan kita untuk berbuat dosa. Orang-orang yang percaya kepada-Nya juga merupakan batu hidup yang digunakan untuk membangun rumah. Selain itu, kita secara individu melayani Dia, dan baik sebagai imam maupun sebagai korban rohani, hidup kita dipersembahkan kepada pembangun. Oleh karena itu, kita harus menjalani kehidupan yang baik, sebagai orang asing di dunia yang bersiap pulang ke rumah untuk bersama Bapa kita, terlibat dalam peperangan melawan keinginan diri sendiri untuk berbuat dosa. Kita harus ingat bahwa Tuhan tidak menciptakan dosa, tidak membuat kita jatuh dalam dosa, dan Tuhan tidak mencobai kita. Jika kita berdosa, itu adalah karena perbuatan yang kita pilih dan lakukan.

Dalam ayat 1, Petrus menjelaskan bagaimana kita sudah gagal untuk memberikan kasih satu sama lain. Ia selanjutnya menulis bahwa kita harus membuang lima sikap dan tindakan yang menentang kasih. Dalam setiap kasus, hal-hal tersebut mencerminkan kita yang berfokus pada keuntungan pribadi yang ditempatkan di atas kepentingan orang lain. Di akhir pasal 1, Petrus mendesak para pembaca Kristennya untuk saling menghasihi secara mendalam, dengan sungguh-sungguh, sepenuh hati, dari hati yang murni. Untuk dapat mencapai itu, sebagai umat Tuhan kita harus bekerja, bukan hanya berharap agar Tuhan yang melakukan mukjizat bagi kita. Kita harus mau bertanggungjawab atas cara hidup kita.

Setiap orang percaya telah dilahirkan kembali melalui firman Tuhan, dan pencelikan mata rohani mereka akan bertahan selamanya. Mereka telah menjadi umat kekal yang diberi kemampuan untuk saling memberikan kasih sejati seperti Kristus. Dengan kata lain, yang tertanam dalam identitas kita sebagai orang Kristen adalah tanggung jawab untuk saling mengasihi. Hal ini bukan karena ada manfaatnya bagi kita, namun karena itulah yang dilakukan Bapa kita. Ini adalah salah satu cara Dia mengungkapkan kekudusan-Nya (1 Petrus 1:15-16). Kita diharuskan untuk melakukan hal yang sama. Dalam hal ini, karena Ia sudah membuka mata rohani kita, tidaklah ada alasah bagi kita untuk menolak atau mengabaikan perintah Tuhan itu.

Kebencian adalah niat buruk yang jahat, yang mengharapkan orang lain dirugikan. Penipuan dan korupsi adalah ketidakjujuran yang disengaja. Kemunafikan juga merupakan kepalsuan, memaksakan orang lain pada standar yang tidak kita penuhi, demi harga diri. Iri hati disebut sebagai “ketidakpuasan yang penuh kebencian”, membuat kita gelisah ketika melihat seseorang yang memiliki apa yang kita dambakan. Fitnah adalah penggunaan kata-kata yang salah atau menyesatkan untuk merusak reputasi orang atau menjelekkan golongan lain.

Menjauhkan sikap dan tindakan tersebut berarti tidak mengutamakan diri sendiri atau menempatkan diri kita di atas orang lain. Gereja – komunitas umat Kristiani -dimaksudkan untuk menjadi tempat di mana kita semua yakin akan pemeliharaan dan pemeliharaan Tuhan. Hubungan yang kita miliki satu sama lain hendaknya membebaskan kita dari sikap mementingkan dan meninggikan diri atau kaum kita dan keinginan untuk membela diri. Sebaliknya, Tuhan sudah memampukan kita untuk melakukan perbuatan baik dengan bebas tanpa paksaan dan penuh kasih satu sama lain sebagaimana Bapa mengasihi kita.

Setelah mengesampingkan sikap dan tindakan yang tidak penuh kasih (1 Petrus 2:1), Petrus menulis bahwa kita sekarang harus mendambakan sesuatu yang lain dari kepuasan atau kejayaan diri sendiri. Perhatikan bahwa orang-orang Kristen diperintahkan untuk mengenai apa yang mereka inginkan. Kita harus diberi tahu apa yang kita harus kita makan karena keinginan akan makanan yang sehat tidak selalu datang secara alami. “Susu rohani yang murni” inilah yang kita perlukan: susu yang memenuhi kebutuhan terdalam kita. Sebagian orang Kristen yakin bahwa mereka tahu apa makanan yang terbaik, tetapi dalam ayat di atas ada fakta bahwa orang Kristen tidak selalu mendambakannya. Itu memerlukan kata kerja aktif.

Bagaimana kita mengembangkan “nafsu makan” yang benar? Kita tidak boleh mengharapkan Tuhan akan menyuapi kita. Kita sendirilah yang harus bisa memilih dan minum. Bayi yang baru lahir terkadang menolak ASI yang mereka tangisi, pada awalnya, sampai mereka bisa merasakannya. Dan kemudian mereka bisa minum dengan kemauan sendiri dengan lahap. Dalam metafora Petrus di sini, semua orang Kristen seharusnya mendambakan susu ini seperti halnya bayi yang baru lahir, bahkan orang percaya yang sudah dewasa. Hal ini berbeda dengan metafora Paulus mengenai susu dan daging dalam 1 Korintus 3:1–3. Tidak ada orang Kristen yang bisa mencapai titik kesempurnaan selama hidup di dunia dimana pertumbuhan rohani telah selesai.

Jadi apa sebenarnya “susu rohani yang murni” yang perlu kita dambakan? Kata “murni” berarti murni atau tidak terkontaminasi. Kata yang digunakan untuk menggambarkan susu ini dalam bahasa Yunani aslinya adalah logikakon, yang juga bisa berarti “rasional atau masuk akal”. Lebih penting lagi, kata ini memiliki akar kata yang sama dengan kata logos, yaitu “kata”. Frasa ini mengacu pada firman-Nya yang diwahyukan dalam Kitab Suci, termasuk pesan Injil – dan kepada Kristus sendiri, Firman yang menjadi manusia (Yohanes 1:14).

Jadi perintah ini berarti bahwa kita harus belajar mendambakan firman Tuhan yang murni, dan hubungan yang murni dengan Kristus, seperti bayi yang baru lahir mendambakan susu. Dengan meminum susu ini, menerima firman Tuhan, mendekatkan diri kepada Kristus, orang-orang percaya secara aktif akan terus bertumbuh dalam keselamatan kita. Petrus telah menjelaskan bahwa Allah telah menjamin keselamatan kita (1 Petrus 1:3-5), bahwa kita diselamatkan (1 Petrus 1:9), dan bahwa kita akan menerima keselamatan sepenuhnya ketika Kristus dinyatakan (1 Petrus 1: 5). Mengambil tindakan untuk minum “susu” dari Firman Tuhan yang sudah disediakan untuk kita adalah jalan menuju pertumbuhan rohani. Menuju ke arah kesempurnaan yang diminta oleh Yesus Kristus. Bagaimana dengan keputusan Anda, maukah Anda melakukan apa yang baik agar semua hal yang jahat bisa dihilangkan dari perbendaharaan kata kerja kita?

Apakah Anda benar-benar mengasihi Tuhan?

Sesudah sarapan Yesus berkata kepada Simon Petrus: ”Simon, anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku lebih dari pada mereka ini?” Jawab Petrus kepada-Nya: ”Benar Tuhan, Engkau tahu, bahwa aku mengasihi Engkau.” Kata Yesus kepadanya: ”Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Yohanes 21:15

Setelah kebangkitan Yesus, sekelompok murid pergi menjala ikan di danau Tiberias. Dari kejauhan, sesosok pria muncul dan menyuruh mereka untuk melemparkan jala lagi. Meski semalaman mereka belum mendapatkan seekor ikan pun, mereka patuh dan jala mereka langsung dipenuhi ikan. Hal ini membuat para murid sadar bahwa orang yang berada di tepi pantai adalah Yesus. Petrus, Yohanes, dan lima murid lainnya kemudian makan bersama Yesus yang telah bangkit di tepi danau. Yesus baru saja melakukan mukjizat, yang mencerminkan mukjizat sebelumnya ketika Yesus pertama kali memanggil Petrus untuk menjadi muridnya (Lukas 5:5-11).

Hanya beberapa hari sebelumnya, Petrus berdiri di dekat api dan bahkan menyangkal bahwa ia mengenal Yesus. Kini Petrus berdiri di dekat api yang lain, dan Yesusmembuat dia mengulangi janji kesetiaannya tiga kali. Pertanyaan Yesus tentang apakah Petrus mengasihi Dia “lebih dari ini” mengacu pada murid-murid lainnya. Yesus bertanya “apakah kamu benar-benar mengasihi Aku lebih dari mereka mengasihi Aku?” Hal ini mengingatkan Petrus yang memiliki percaya diri yang terlalu besar (Markus 14:29), tetapi yang kemudian ternyata hanya bualan semata-mata.

Kata Petrus kepada-Nya: ”Biarpun mereka semua tergoncang imannya, aku tidak.” Markus 14:29

Dalam keadaan genting, Petrus takut tertangkap bersama Yesus dan kemudian tiga kali menyangkali Dia. Sekarang, tiga kali Yesus membuat Petrus mengakui imannya.

Jika kita amati, Yohanes 21:15–19 adalah momen yang mengharukan antara Petrus dan Yesus yang telah bangkit. Pada awal pelayanannya, Yesus mengilhami tanggapan setia Petrus, dengan secara ajaib menyediakan ikan (Lukas 5:5–8). Dia kemudian memanggil Petrus untuk menjadi muridnya (Lukas 5:10–11). Tidak beberapa hari sebelum sarapan pagi di pantai ini, Petrus berdiri di dekat api dan menyangkal mengenal Kristus sebanyak tiga kali (Yohanes 18:25–27). Sekarang, di depan api yang lain, Yesus meminta Petrus untuk menegaskan kasih setianya sebanyak tiga kali. Petrus memahami simbolismenya dan merasa sedih akan kelemahannya.

Kosakata Yunani mempunyai lebih dari satu kata untuk istilah bahasa Inggris “cinta”. Yesus menggunakan dua akar kata, agapaō dan phileō, dalam pertanyaan-pertanyaan-Nya. Petrus hanya akan menggunakan phileo. Meskipun kata-kata ini dapat memiliki arti yang berbeda, dalam konteksnya masing-masing, penggunaannya di sini pada dasarnya identik. Dengan tiga kali bertanya kepada Petris, Yesus ingin menyadarkan Petrus bahwa ia adalah orang yang dipilih-Nya untuk memimpin umat-Nya.

Apakah pertanyaan Yesus itu hanya berlaku untuk Petrus? Saya rasa tidak. Pertanyaan Yesus itu juga berlaku untuk kita, yang sering mengaku bahwa kita adalah pengikut Tuhan. Tetapi, mungkin yang kita maksudkan hanyalah orang-orang yang pergi ke gereja setiap Minggu. Jika keadaan lagi nyaman, tak ada salahnya untuk mendengarkan khotbah dan bernyanyi selama satu jam Walaupun demikian, jika keadaan lagi kurang aman, atau jika kita mempunyai hal-hal yang harus kita prioritaskan, kita akan menjadi Petrus yang mengingkari janji kesetiaan kita kepada-Nya. Kita lupa bahwa kita adalah orang-orang yang sudah dipilih-Nya untuk mengikut Dia dan bekerja untuk kemuliaan-Nya.

Saat ini Yesus bengajukan pertanyaan yang serupa untuk kita. Apakah kita benar-benar mengasihi Yesus? Hanya kita sendiri yang bisa menjawabnya. Mungkin sebagian di antara kita akan menjawab dengan rasa percaya diri yang besar. Bukankah kita adalah orang-orang yang sudah dipilih-Nya? Tetapi, mungkin juga kita merasa sedih. Memiliki rasa percaya saja yang besar bukanlah berarti kita mengasihi Dia. Kasih haruslah dibuktikan melalui perbuatan. Kita tidak bisa berkata “Aku mengasihimu” kepada seseorang jika kita tidak mau berkurban untuk dia. Begitu juga, kita harus sadar bahwa mengasihi Dia berarti kita harus taat kepada firman-Nya. Kita harus mau menyingkirkan banyak hal yang tidak berkenan kepada-Nya, termasuk dosa-dosa dan ketidaksetiaan kita kepada Dia yang mengasihi kita.

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.” Yohanes 14:15

Ditetapkan untuk menjadi kudus

Terpujilah Allah dan Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga. Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya.” Efesus 1:3-4

Efesus pasal pertama berisi dua bagian utama. Yang pertama menggambarkan berkat-berkat yang telah diberikan kepada umat Kristiani sebagai hasil keselamatan kita melalui Kristus. Paulus menjelaskan hal ini melalui pujian yang ditujukan kepada Allah Bapa. Bagian kedua memuji jemaat Efesus atas reputasi mereka, dan berdoa agar Kristus membawa mereka ke dalam iman yang lebih penuh dan lebih sadar.

Efesus 1:3–14 memuji Tuhan atas berkat yang telah Dia sediakan. Paulus menyatukan gagasan mengenai predestinasi, kemuliaan Allah, keselamatan umat-Nya, dan hak-hak yang kita miliki sebagai anak-anak Allah. Secara khusus, orang-orang percaya diberkati karena Allah telah memilih, sebelum penciptaan, untuk menyelamatkan kita. Keselamatan itu harus dibayar mahal: kematian Yesus Kristus. Sebagai anak-anak Tuhan, kita dapat yakin bahwa Tuhan akan memberikan apa yang Dia janjikan kepada kita: yaitu kekekalan bersama Dia di surga.

Setelah memuji Bapa dan Anak, Paulus dalam ayat 3 mencatat bahwa Allah telah “telah mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam sorga.” Pernyataan menyeluruh ini menunjukkan bahwa setiap berkat yang mungkin kita perlukan telah diberikan di dalam Kristus, termasuk kemampuan untuk hidup menurut firman-Nya. Kristus datang dari surga ke bumi dari Bapa untuk memberikan segala berkat yang kita perlukan.

Paulus juga mencatat beberapa penerapan penting ketika Allah memilih kita menjadi anak-anak-Nya. Karena hikmat, kuasa, dan kasih Allah, respons kita yang patut sebagai anak-anak-Nya adalah hidup dalam ketaatan kepada-Nya. Kita harus menjadi “kudus,” sebuah kata yang berarti “dikuduskan.” Kita juga harus hidup tanpa cela, sebuah karakteristik penting bagi semua orang percaya, khususnya para pemimpin gereja:

“Karena itu penilik jemaat haruslah seorang yang tak bercacat, suami dari satu isteri, dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang, seorang kepala keluarga yang baik, disegani dan dihormati oleh anak-anaknya.” 1 Timotius 3:2-3

Di antara sifat-sifat Allah, seperti yang telah Ia ungkapkan, tidak ada yang lebih penting daripada kekudusan-Nya. Kata “kudus” dan “kekudusan” muncul ratusan kali dalam Alkitab, dan baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru lebih banyak berbicara tentang kekudusan-Nya dibandingkan atribut lainnya. Karena sifat ini, Allah tidak dapat menoleransi dosa kita. Seperti yang dikatakan Habakuk 1:13, “Mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman.”

Seorang teolog Reformed yang terkenal, Kevin DeYoung, berkata: “Alkitab menyatakan dengan sangat jelas bahwa alasan seluruh keselamatan Anda, rancangan di balik pembebasan Anda, tujuan pertama Tuhan memilih Anda, adalah kekudusan.” Kekudusan diasosiasikan dengan keterpisahan dari hal-hal biasa atau duniawi, di satu sisi, dan hubungan dengan Tuhan atau ketuhanan, di sisi lain. Kekudusan bukan hanya dipisahkan dari dosa dan keduniawian tetapi juga dipisahkan demi tujuan Allah.

Pengudusan adalah proses seumur hidup yang melaluinya kita menjadi kudus. Ini memerlukan komitmen besar, namun ada lima cara spesifik yang kita bisa upayakan untuk menjadi kudus.

1. Jadikan kekudusan sebagai tujuan hidup Anda

Dari semua tujuan hidup kita, yang paling penting adalah mengejar kekudusan karena itu adalah tujuan Tuhan dalam hidup kita. Tuhan hanya mempunyai satu tujuan akhir bagi umat manusia – kekudusan. Satu-satunya tujuannya adalah menghasilkan orang-orang kudus. Tuhan bukanlah mesin berkat abadi yang dapat digunakan manusia, dan Dia tidak datang untuk menyelamatkan kita karena rasa kasihan -Dia datang untuk menyelamatkan kita karena Dia menciptakan kita untuk menjadi kudus. Jika kita benar-benar mengasihi Tuhan, kita akan mau berkomitmen untuk menjadikan kekudusan sebagai tujuan utama hidup kita.

2. Jangan menolak Roh Kudus

Penyucian dilakukan oleh Roh Kudus dan merupakan bagian dari pertobatan kita (1 Petrus. 1:2). Dalam bentuk ini, yang dikenal sebagai pengudusan definitif, Roh Kudus memisahkan kita di dalam Kristus agar kita dapat diselamatkan. Roh juga bekerja di dalam kita sehingga kita dapat taat kepada Kristus, sebuah proses yang disebut pengudusan progresif, karena kita mengalami kemajuan menuju kekudusan.

Dalam peran pengudusan yang terakhir ini, Roh: (A) menyingkapkan dosa kita sehingga kita dapat mengenali dan menjauhinya, (B) menerangi Kitab Suci sehingga kita dapat memahami maknanya, dan (C) membantu kita melihat kemuliaan dosa. Kristus. Roh selalu bersedia melakukan hal ini bagi kita, itulah sebabnya kita tidak boleh “menolak” (Kisah 7:51) atau “memadamkan” (1 Tesalonika 5:19) Roh itu. Ini sudah tentu tergantung pada diri kita masing-masing.

3. Berkomitmen pada ketaatan

Tidak ada kekudusan tanpa ketaatan. Seperti yang diisyaratkan 1 Petrus 1:2, pekerjaan pengudusan Roh dilakukan agar kita bisa taat kepada Kristus.

” …yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu.”

John Wesley secara konsisten berargumentasi bahwa keselamatan harus menghasilkan kesucian hati dan kehidupan, namun ia tidak pernah memandang proses tersebut sebagai semacam tangga pendakian, seperti yang dilakukan oleh para mistikus Kristen kuno dan abad pertengahan. Dia tidak pernah membayangkan suatu tahapan dalam kehidupan ini di mana seseorang telah tiba dan tidak dapat melangkah lebih jauh.

4. Kejar Yesus, bukan moralisme duniawi

Ketika kita menjadi suci, kita secara alami akan menjadi lebih bermoral. Moral yang baik adalah ciri orang percaya. Namun itu bukanlah tujuan bertumbuh dalam kesalehan. Usaha kita adalah untuk menjadi seperti Yesus, bukan hanya standar moralisme yang berlaku saat ini di tempat Anda. “Kekudusan pada akhirnya bukanlah tentang menjalani standar moral,” kata Kevin DeYoung. “Ini tentang hidup di dalam Kristus dan hidup dalam kesatuan kita yang nyata dan penting dengan Dia.”

5. Harapkan peningkatan, bukan kesempurnaan

Seringkali orang Kristen tidak berusaha untuk menjadi kudus karena menganggapnya sebagai standar yang mustahil. Selain itu, ada orang Kristen yang percaya bahwa Tuhan menerima setiap orang pilihan “sebagaimana adanya”. Namun Tuhan menuntun kita menuju tingkat kesempurnaan yang dapat dicapai. Denhgan demikian, kurangnya kesempurnaan pada saat ini seharusnya hanya membuat kita terus berupaya mencapai tujuan Tuhan bagi kita. John Calvin menulis bahwa karena apa yang paling sempurna dalam diri kita selalu jauh dari standar Allah, kita harus berusaha lebih dan lebih sempurna lagi setiap hari. Dan kita harus ingat bahwa kita tidak hanya diberitahu apa tugas kita dalam hidup baru, tetapi Tuhan juga menambahkan, “Akulah yang menguduskan kamu.”. Menjadi sempurna di dalam Dia adalah tanggung jawab kita, dan untuk itu kita bersandar kepada Roh Kudus.

Hari ini kita belajar bahwa sebagai orang percaya, kita harus menjadi kudus bukan karena kita ingin dikasihi Allah tetapi karena kita sudah dikasihi Dia di dalam Kristus. Kita mengasihi karena Dia terlebih dahulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Dan cara terbaik untuk menunjukkan bahwa kita mengasihi Tuhan adalah dengan berusaha menjadi kudus karena Dia kudus!

Hal perlunya memuliakan Tuhan

Bacaaan Kolose 3: 1-17

“Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.” Kolose 3:17

Kitab Kolose 3:1-17 adalah ayat-ayat yang cukup terkenal, tetapi jarang dibicarakan atau dikhotbahkan di gereja-gereja tertentu. Ada beberapa alasan mengapa demikian:

  1. Sebagian orang Kristen yakin bahwa perbuatan baik manusia tidak relevan dalam konteks keselamatan.
  2. Sebagian orang Kristen menganggap manusia tidak bisa berbuat baik karena sudah rusak dan bejat sebejat-bejatnya.
  3. Sebagian orang Kristen yakin bahwa perbuatan yang nampaknya baik adalah mirip dengan apa yang dilakukan orang Farisi, hanya untuk kemegahan diri sendiri.
  4. Banyak orang Kristen yang tidak sadar bahwa proses kedewasaan iman selalu disertai dengan penanggalan perbuatan-perbuatan tercela seiring dengan makin banyaknya perbuatan yang memuliakan Tuhan.
  5. Sebagian orang Kristen tidak sadar bahwa perbuatan baik dan hidup tertib adalah sesuatu yang dikehendaki Tuhan untuk setiap insan karena Tuhan tidak menghendaki kekacauan di dunia.
  6. Banyak orang Kristen tidak sadar bahwa Tuhan memakai orang yang bukan Kristen untuk melakukan hal yang baik untuk kebaikan setiap orang percaya (seperti guru, pemimpin negara).
  7. Banyak orang Kristen yang tidak sadar bahwa setiap orang Kristen harus tunduk kepada pemerintah, sekalipun tidak ada pemerintah di dunia yang teokratis pada saat ini.

Perhatikan berapa banyak kata aktif yang Paulus gunakan dalam Kolose 3:1-17 untuk menggambarkan apa yang harus dilakukan oleh seorang Kristen:

“Carilah perkara yang di atas” (ayat 1).
“Pikirkanlah perkara yang di atas” (ayat 2).
“Matikanlahdalam dirimu” (ayat 5).
“Buanglah semuanya ini” (ayat 8).
“Janganlah kamu saling mendustai” (ayat 9).
“Kenakan belas kasihan” (ayat 12).
“Sabar dan saling memaafkan” (ayat 13).
“Kenakan kasih” (ayat 14).
“Hendaklah damai sejahtera Allah memerintah… dan bersyukurlah” (ayat 15).
“Hendaklah firman Kristus diam di dalam kamu” (ayat 16).
“Lakukan segala sesuatunya dalam nama Tuhan Yesus” (ayat 17).

Dalam ayat-ayat di atas, Paulus mengajarkan agar kita memahami bahwa kita harus berpartisipasi secara aktif agar bisa bertumbuh. Itu berarti menyangkut keputusan kita, bukan hanya menantikan Tuhan mengubah kita. Ketika Tuhan berbicara tentang pertumbuhan, yang Dia maksudkan adalah peningkatan dalam sifat-sifat-Nya, sifat-sifat yang akan membuat kita selaras dengan gambar-Nya. Untuk itu, Dia sudah memberikan Roh Kudus-Nya untuk membimbing kita, dan kita tidak boleh mengabaikan dan mendukakan Roh itu (Efesus 4:30).

Yang mendorong ambisi mulia Paulus adalah pengetahuan bahwa pada akhirnya akan ada penyingkapan mendalam dari kedalaman hatinya oleh Tuhan Sendiri. Hal ini akan terjadi di masa depan ketika semua orang percaya harus menghadap takhta penghakiman Kristus. Istilah-istilah yang kuat yang dipakainya menekankan keniscayaan dan kelengkapan peristiwa ini. Pengetahuan akan hal itulah yang menghasilkan motivasi kuat dalam diri Paulus untuk berkenan kepada Tuhan dalam hidup ini.

“Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Kristus, supaya setiap orang memperoleh apa yang patut diterimanya, sesuai dengan yang dilakukannya dalam hidupnya ini, baik ataupun jahat.” 2 Korintus 5:10

Pada hari itu, kebenaran seutuhnya tentang kehidupan, karakter, dan perbuatan akan dijelaskan kepada setiap orang beriman. Masing-masing akan menemukan keputusan sebenarnya atas pelayanan, pelayanan, dan motifnya. Segala kemunafikan dan kepura-puraan akan disingkirkan; segala sesuatu yang bersifat sementara dan tidak memiliki arti kekal akan lenyap seperti kayu, jerami, dan jerami, dan hanya apa yang dihargai sebagai sesuatu yang berharga secara kekal yang akan tersisa. 1 Samuel 16:7 menyatakan bahwa “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.”

Ketika menulis kepada jemaat di Roma tentang peristiwa yang sama, Paulus menggambarkannya sebagai “takhta penghakiman [bema] Allah” (Roma 14:10). Allah Bapa adalah Hakim tertinggi, namun Dia telah “memberikan seluruh penghakiman kepada Anak” (Yohanes 5:22). Orang percaya tidak akan dihakimi karena dosanya di takhta penghakiman Kristus. Setiap dosa setiap orang percaya dihakimi di Kayu Salib, ketika Allah “menjadikan Dia yang tidak mengenal dosa menjadi dosa demi kita, supaya kita menjadi kebenaran Allah di dalam Dia” (2 Korintus 5:21). Di kayu salib “Kristus telah menebus kita dari kutukan Hukum Taurat, dan menjadi kutukan bagi kita” (Galatia3:13). Tetapi, kursi penghakiman diterjemahkan menjadi bema, yang, dalam definisi paling sederhana, menggambarkan tempat yang dicapai melalui tangga, atau platform. Seseorang dibawa ke hadapan bema untuk diperiksa perbuatannya, dalam pengertian hukum untuk dakwaan atau pembebasan dari tuduhan, atau untuk tujuannya adalah untuk mengakui dan menghargai suatu pencapaian.

Memang benar bahwa pembenaran orang berdosa adalah karena iman di dalam Kristus dan bukan karena perbuatannya sendiri; tetapi akar iman yang tersembunyi harus menghasilkan buah perbuatan baik yang nyata. Buah ini diharapkan oleh Kristus, karena buah ini membawa kemuliaan bagi Bapa dan merupakan bukti bagi dunia akan realitas dinamis kasih karunia ilahi. Dan terutama ketika menghasilkan banyak buah, Bapa dimuliakan (Yohanes 15:8).

Ungkapan “setiap orang” dalam 2 Korintus 5:10 di atas menekankan sifat pribadi dari penilaian orang percaya; ini adalah penilaian individu, bukan kolektif. Tujuannya, sebagaimana disebutkan di atas, tidak bersifat yudisial; yaitu agar setiap mukmin mendapat balasan atas amal perbuatannya di dalam tubuh. Kata-kata “memperoleh apa yang patut diterimanya” merupakan terjemahan dari kata kerja komizo, yang berarti “menerima kembali apa yang menjadi haknya” – baik hukuman bagi pelaku kejahatan, atau imbalan bagi seseorang yang dihormati.

Ketika orang-orang percaya berdiri di hadapan Tuhan Yesus Kristus mereka akan mendapat balasan atas perbuatan yang telah mereka lakukan di dalam tubuh (lihat Wahyu 22:12). Oleh karena itu, mereka tidak boleh mengabaikan tubuh jasmani dan cara hidup mereka, atau memperlakukan mereka dengan hina dengan cara yang antinomian (melanggar hukum Tuhan) atau dualistik (pemisahan total atas jasmani dan rohani). Sebaliknya, mereka harus “mempersembahkan tubuh [mereka] sebagai korban yang hidup dan kudus, yang berkenan kepada Allah, yaitu ibadah rohani [mereka]” (Roma. 12:1). Hal-hal yang dilakukan dalam tubuh memang mempunyai potensi nilai kekal (lihat Matius 6:19-21). Ingat bahwa tubuh kita bukan milik kita.

Penggunaan kata “jahat” tidak menunjukkan bahwa penghakiman orang percaya adalah penghakiman atas dosa, karena seluruh dosa mereka telah dihakimi di dalam Kristus. Perbedaan antara yang baik dan yang jahat bukanlah perbedaan antara moral yang baik dan moral yang jahat. Jahat tidak diterjemahkan sebagai kakos atau poneros, yang berarti kejahatan moral, melainkan phaulos, yang berarti “tidak berharga” atau “tidak berguna”. Orang Kristen sejati sudah tentu harus tahu apa yang baik secara moral dan berusaha keras untuk melakukannya dalam konteks dua hukum utama. Tetapi, phaulos menggambarkan hal-hal duniawi yang pada dasarnya tidak menyangkut moral, seperti berjalan-jalan, berbelanja, berkendara keliling kota, mengejar gelar yang lebih tinggi, menaiki tangga perusahaan, mencari nafkah, melukis gambar, atau menulis puisi. Hal-hal yang netral secara moral ini juga akan diadili ketika orang-orang percaya berdiri di hadapan takhta penghakiman Kristus. Jika dilakukan dengan motif untuk memuliakan Tuhan, maka dianggap baik. Jika dikejar demi kepentingan egois, maka dianggap buruk.

Definisi paling jelas mengenai perbedaan antara hal-hal yang baik dan buruk (yang tidak berharga) terdapat dalam 1 Korintus 3:11-15: Sebab tidak ada seorang pun yang dapat meletakkan dasar selain dari dasar yang telah diletakkan, yaitu Yesus Kristus. Sekarang, jika ada orang yang membangun di atas fondasi itu dengan emas, perak, batu permata, kayu, rumput kering, jerami, maka pekerjaan masing-masing orang akan terlihat; sebab hari itu akan memperlihatkannya karena hal itu akan dinyatakan dengan api, dan api itu sendiri akan menguji mutu pekerjaan setiap orang. Jika pekerjaan yang dibangun seseorang percaya tetap ada serelah diuji, maka ia akan menerima upah. Jika pekerjaannya habis terbakar, ia akan menderita kerugian sekalipun dia sendiri akan diselamatkan.

Satu-satunya landasan kehidupan Kristen adalah Tuhan Yesus Kristus (lih. 1 Petrus 2:6-8), jadi orang-orang percaya harus membangun di atas landasan itu, seperti nasihat Petrus:

“Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita.” 2 Petrus 1:5–10

Pagi ini kita harus sadar bahwa orang-orang percaya membangun kekekalan bukan dengan “kayu, jerami, atau jerami,” namun dengan “emas, perak, dan batu-batu berharga.” Kita hanya akan diberi pahala atas perbuatan yang mempunyai motif yang benar dan memuliakan Tuhan. Kerinduan Paulus akan surga tidak menyebabkan dia bertindak tidak bertanggung jawab atau tidak setia di bumi ini; justru sebaliknya. Mereka yang tidak mempunyai kerinduan ini mungkin saja belum percaya kepada Tuhan dengan sepenuhnya.